HutanAdat Jaras berada di Kecamatan Linggang Bigung; dan Gua Maria di Kampung Linggang Mapan Kecamatan Linggang Bigung. Kawasan ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e seluas kurang lebih 6.177 (enam ribu seratus tujuh puluh tujuh) hektar atau 30 (tiga puluh) persen dari luas kawasan perkotaan terdiri atas:
StatistikSektoral. Angka Deforestasi (Netto) Indonesia di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2013-2020 (Ha/Th) 10 Jan 2022. Statistik Sektoral. Luas Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 10 Jan 2022. Statistik Sektoral.
BandarLampung, (faktaonline.com) - Gubernur Lampung Arinal Djunaidi menyoroti pentingnya menjaga kelestarian hutan di Lampung dengan mengajak Pemerintah, masyarakat dan swasta menjaga keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Hal itu disampaikan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi saat membuka Talk Show Peran Hutan Konservasi untuk Pembangunan, di Hotel Sheraton Bandar Lampung, Rabu (27/1/2020
Kabar Baru 22 Oktober 2020 Provinsi konservasi Papua Barat berumur lima tahun. Tata ulang kawasan konservasi dan konversi lahan mendapat tantangan setelah terbit omnibus law Undang-Undang UU Cipta Kerja. PROVINSI Papua Barat telah lima tahun menjadi “provinsi konservasi”. Pada 19 Oktober 2020, provinsi ini mensosialisasikan Peraturan Daerah Khusus Perdasus Nomor 10 Tahun 2019 tentang rencana pembangunan berkelanjutan, sebagai tindak lanjut komitmen mereka atas deklarasi menjadi provinsi konservasi lima tahun lalu. Kebijakan daerah ini sebetulnya ditetapkan pada 29 November 2019, tapi peluncuran dan sosialisasinya baru kali ini. Peraturan daerah khusus nomor 10 itu di antaranya tekad Papua Barat melindungi 70% hutan dan 50% habitat laut. Pembangunan provinsi konservasi cukup ambisius, di tengah fakta bahwa Papua Barat menduduki posisi nomor 2 termiskin di antara 34 provinsi di Indonesia. Sumber pendapatan daerahnya sebagian besar diperoleh dari pemanfaatan sumber daya alam dengan hamper separuh belanja, dari total penerimaan Rp 4 triliun, untuk pegawai dan belanja barang. Menurut survei Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2015, Taman Nasional Teluk Cendrawasih seluas 1,45 juta hektare—taman nasional perairan terluas di Indonesia—keragaman hayatinya berada dalam kondisi buruk, dengan tutupan karang keras di zona inti hanya 13-40%. Tata ruang juga tak menggembirakan. Sebanyak 64% merupakan lokasi areal penggunaan lain untuk pertanian, perkebunan, dan tujuan konversi lain. Karena itu Peraturan Daerah Khusus Nomor 10 itu pada prinsipnya akan menata ulang peruntukan lahan di Papua Barat dengan membaliknya dari 34% kawasan konservasi darat menjadi 70%. Dengan penataan ini, pemerintah Papua Barat hendak mengatur izin-izin terutama di lokasi pemanfaatan dengan menurunkannya dari 64% menjadi 30%. Penataan ini muncul di waktu yang tepat. Tak hanya karena Papua memiliki kekayaan flora terbesar di dunia, juga karena terbitnya omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja yang menghapus ketentuan batas minimal hutan 30% per pulau atau daerah aliran sungai di pasal 18 Undang-Undang Kehutanan. Penataan lahan di Papua Barat akan mencegah konversi hutan untuk alasan industrialisasi. Menurut Vice President the Conservation International Ketut Sarjana Putra, potensi hutan salah satunya berada di DAS. Ketika hutan ini dikonversi, ia berisiko tinggi terhadap lingkungan seperti banjir dan longsor. “Karena itu yang dibutuhkan dalam peraturan daerah itu adalah rencana teknis berikutnya,” kata dia. “Perlu panduan teknis dalam implementasi sehingga sinkron dengan analisis risiko, terutama yang menyangkut dengan aturan-aturan di Undang-Undang Cipta Kerja.” Kepala Sub Bidang Diseminasi Badan Penelitian dan Pengembangan Ezrom Batorinding, mengatakan ada makna di balik strategi pengembangan wilayah provinsi ini. “Inisiatif dan komitmen yang antimainstream ini untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya bagi generasi mendatang, terutama memastikan akan kebutuhan standar hidup bagi masyarakat adat asli Papua,” kata Ezrom dalam keterangan tertulis. Ezrom mengatakan penyelenggaraan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi akan dilakukan secara bertahap, dalam waktu yang tidak singkat dan harus melibatkan berbagai pihak secara sungguh-sungguh. “Tahapan atau proses tersebut harus dilakukan secara terus-menerus dan menjadi siklus yang tidak terputus,” kata dia. Setelah peraturan daerah ini akan ada penyusunan aturan pelaksana atau operasional, dalam peraturan gubernur dan aturan pelaksana/operasional lainnya. Lalu penyiapan dan pembentukan kelembagaan, yakni kajian pembentukan kelembagaan daerah yang sesuai atau diperlukan dan pembentukannya itu sendiri. Berikutnya adalah integrasi dan sinkronisasi dalam program dan kebijakan daerah, dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, rencana kerja pemerintah daerah, hingga program teknis di tiap dinas, serta sinkronisasi program dan kebijakan antar badan. Selanjutnya adalah pemantauan, evaluasi, dan pembelajaran. Menurut Ezrom, caranya melalui penyusunan alat pemantauan dan evaluasi secara partisipatif, pemantauan dan evaluasi secara berkala, publikasi pemantauan dan evaluasi untuk mendapatkan umpan balik, serta penyusunan pembelajaran sebagai bahan perbaikan atau penyempurnaan regulasi dan aturan teknis. Terakhir perbaikan atau penyempurnaan regulasi, aturan teknis, program dan kebijakan, yaitu revisi, perbaikan, atau penyempurnaan terhadap peraturan daerah khusus, aturan pelaksana/ operasional, program dan kebijakan sesuai hasil evaluasi. Soal peraturan daerah khusus nomor 10, Ketut Sarjana Putra memandang langkah Papua Barat ini cukup berani tetapi positif untuk mendukung perbaikan iklim. Soalnya, kata dia, asas pelestarian alam, terutama hutan dan laut memerlukan target yang sangat khusus. Di sisi lain, kata dia, komitmen dalam menjaga laut untuk wilayah konservasi tetap mempertimbangkan kebutuhan ekonomi masyarakat. Ketut optimistis pengembangan provinsi konservasi bisa diwujudkan jika pemerintah Papua Barat merencanakannya dengan matang. “Pembentukan ini tidak instan,” kata Ketut. Pencetus “provinsi konservasi” adalah Gubernur Papua Abraham Octavianus Atururi. Ia melihat contoh pembangunan Raja Ampat yang ia nilai berhasil mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Menurut Ketut, ekonomi Raja Ampat yang bertumpu pada perikanan bisa maju sehingga Gubernur Atururi berniat memproteksi 80% hutan Raja Ampat. Sebab, proteksi hutan yang baik dengan luas signifikan akan berdampak positif pada produksi perikanan, sembari meningkatkan juga nilai ekoturisme laut memakai kearifan lokal. Gesekan antara konservasi dan ekonomi, menurut Ketut, memang menjadi tantangan tersendiri. Karena itu terbitnya peraturan daerah khusus nomor 10 itu, kata dia, sebagai cara pemerintah menjamin keberlangsungan dua hal itu. Pembangunan ekonomi dilakukan dengan hati-hati memakai prinsip reduksi risiko terhadap lingkungan. Ia percaya pemerintah pusat juga memiliki komitmen yang sama untuk Papua Barat. Karena itu perlu ada koordinasi yang baik antar pusat dan daerah. “Misalnya pemerintah pusat ingin mengembangkan ekoturisme besar di Papua Barat sehingga harus dipilih mana wilayah untuk ekoturisme massal dan mana wilayah yang tak boleh,” kata Ketut. Ketut mengutip rencana Badan Perencana Pembangunan Nasional yang menjadikan Papua sebagai provinsi yang memiliki target pembangunan rendah karbon dan menjadi contoh pencapaian Tujuan Pembangunan Lestari SDG's “Peraturan Daerah Khusus Nomor 10 ingin menerjemahkan SDG itu,” kata dia. BERSAMA MELESTARIKAN BUMI Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum. Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan. Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp TopikDownloadpenelitian keanekaragaman flora lumut di kawasan konservasi Cagar Alam Kakenauwe dan Suaka. "Keanekaragaman Jenis Lumut di Taman Hutan Raya Sesaot Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat", (Tesis Program Megister Sains Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2014), h. Berkantor pusat di Bandar Lampung, Provinsi
DATA SENSUS Beranda » Kehutanan » Luas Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan serta Persentasenya Menurut Fungsi Kawasan Hutan di Provinsi Bali, 2022 Update Terakhir 17 Mar 2023 Luas Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan serta Persentasenya Menurut Fungsi Kawasan Hutan di Provinsi Bali, 2022 Extent of Forest Area, Inland Water, Coastal, Marine Ecosystem ha, and Percentage by Forest Zone Function in Bali Province, 2022 Fungsi Kawasan Hutan Luas Hutan ha Persentase Terhadap Luas Keseluruhan % Forest Zone Function Area of Forest ha Percentage of Total Area 1. Hutan Lindung HL / Protection Forest 97 407,95 71,19 2. Hutan Produksi / Production Forest 8 848,57 6,47 a. Hutan Produksi Terbatas HPT / Limited Production Forest 6 805,82 4,97 b. Hutan Produksi Tetap HP / Permanent Production Forest 1 872,80 1,37 c. Hutan Produksi Dapat dikonversi HPK / Convertible Production Forest 169,95 0,12 3. Hutan Konservasi Suaka Alam dan Pelestarian Alam Sanctuary Reserve and Nature Conservation Area 30 570,53 22,34 a. Cagar Alam CA / Natural Reserve 1 773,80 1,30 b. Taman Nasional TN / National Park 23 143,86 16,91 c. Taman Wisaa Alam TWA / Natural Conservation 4 511,46 3,30 d. Taman Hutan Raya Tahura / Grand Forest Park 1 141,41 0,83 Jumlah Luas Hutan dan Perairan / Total Forest Area and Water Area 136 827,05 100,00 Sumber Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali Source Forestry and Living Environment Department of Bali Province
3 New Conservation Areas in East Nusa Tenggara the Local Government Developes Sustainable Tourism as a Prime Mover through Marine Resource Management Posted on 22 November 2021 Author by Felipa Kissa The long process of preserving coastal and marine resources in the province of East Nusa Tenggara finally paid off. On October 21, 2021, the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia established three Regional Conservation Areas KKD in East Nusa Tenggara Province, specifically in the areas of East Flores Regency 150, ha, Lembata 199, ha, and Sikka 75, ha through KEPMEN KP No. 94, 95, and 96 of 2021. This number adds to the total area of 5 conservation areas that have been designated in NTT to 4,201, ha, with the other two areas being the Savu Sea Marine National Park 3 .5 million ha, as well as the Pantar Strait and Surrounding Sea Waters Nature Reserve 276, ha. For Savu Sea TNP, it is a National Water Conservation Area managed by the Kupang Water Conservation Area BKKPN. This figure shows that NTT Province has contributed about 17% of the million ha of the conservation area target set by the KKP in Flores, Lembata and Sikka are interconnected islands and are important habitats for sharks, rays, turtles and dugongs. These three areas are also crossing paths for cetaceans, including killer whales Orcinus orca and blue whales Balaenoptera musculus. Shallow sea waters ecosystem consisting of coral reefs, seagrass, and mangroves that are still in good condition, as well as the potential for large demersal and pelagic fish resources. In addition, the high biodiversity adds interest as a sustainable marine tourism attraction with the potential to improve the economy of the surrounding community. This makes the KKDs of East Flores, Lembata, and Sikka important habitats that need to be managed sustainably so that they can be utilized in the Outstanding Achievement of the Collaboration of All PartiesThe establishment of three conservation areas in the NTT Province in 2021 is one of the extraordinary achievements as a result of advocacy and collaboration efforts between the NTT Provincial Government, the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries through BPSPL Denpasar, the East Flores Regency Government, Lembata and Sikka, the community, academics and partners of non-governmental organizations. So that in the end the Letter of the Governor of East Nusa Tenggara Number regarding the Proposal for Determining the Regional Water Conservation Areas of East Flores, Lembata and Sikka Regencies in NTT Province can be followed up with the determination of conservation areas by the Minister of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia on October 21, WWF Indonesia Foundation has participated in the process of determining this conservation area since 2009. Together with the DKPP-NTT Provincial Water Conservation Council, the Branch Office of the Marine and Fisheries Service of the Province of NTT, the Working Area of Sikka, East Flores and Lembata Regencies, NTT academics and BPSPL-Denpasar , WWF Indonesia Foundation initiated the proposal for the establishment of a conservation area in East Flores, and the process was continued by the provincial government. Various surveys and monitoring were carried out during the initiation and process of determining the conservation area. The WWF Indonesia Foundation is also actively involved in designing the zoning in the three conservation areas as one of the main priorities for the process of determining the Marine Protected Area. During the determination process, WWF also provided community assistance, especially in East Flores Regency for the protection and utilization of reef shark habitats and populations through sustainable marine tourism activities by the community in Pledo Musthofa, as the Head of the Marine and Fisheries Program of the WWF-Indonesia Foundation, also appreciated, “The WWF Indonesia Foundation is committed to being a strategic partner for the Provincial Government and other partners in NTT in the development of coastal and marine resources through the management of conservation areas. This can be achieved through collaborative and adaptive management by considering the indicators of the success of effective management of the area contained in the Evaluation of Conservation Area Management Effectiveness EVIKA, namely; marine ecosystem biophysical indicators, regional governance indicators, as well as socio-economic and cultural indicators.”The determination of these three conservation areas is not the final goal, there are still many things that need to be done so that conservation area management can run optimally. By letter Number 3180/DJPRL/XI/2021, Acting Director-General of Marine Spatial Management, Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Dr. Ir. Pamuji Lestari, gave directions to follow up on the determination of the three areas in East Nusa Tenggara Province. Some things that need to be done include appointment of a management unit, preparation and determination of the Zoning Management Plan Document, conducting socialization related to the area and its zoning, and implementing effective management. This requires the participation of all local stakeholders to realize the management of the area so that it can run according to its head of department DKP Prov NTT, George M. Hadjoh, SH through the Head of Marine Spatial Management and Aquaculture, Dr. Deselina MSi explained that the determination of the Regional Conservation Area is also an important part in achieving the Strategic Plan of the NTT DKP, namely the target of wide coverage of conservation areas managed by regions other than the SAP KKD of Alor Regency and its surroundings. As for the management, it is not only carried out by the DKP of NTT Province, but the role of multi-stakeholder involvement is very much needed which will later be implemented through partnership and networking mechanisms as mandated by PERMEN KP No. 31 of 2020 concerning the management of conservation areas. "Currently what needs to be implemented is how to maximize the economic and ecological benefits of aquatic natural resources in an order to improve community welfare which also involves the role of business actors in efforts to manage conservation areas effectively and efficiently," he is in line with the elaboration of the vision and mission of the Governor of East Nusa Tenggara as stated in the 2018-2023 Regional Medium-Term Development Plan document. Especially in Mission 1 related to realizing a prosperous, independent, and just society that is inclusive and sustainable. As well as on Mission 2 related to building NTT as one of the gates and centers of national tourism development Ring of Beauty as a Prime Mover through Marine Resource Management. Then, the determination of the three water conservation areas above is also a manifestation of the implementation of Regional Regulation No. 4 of 2017 regarding the Zoning Plan for Coastal Areas and Small Islands in the Province of KAWASAN KONSERVASI BARU DI NTT PEMDA KEMBANGKAN PARIWISATA BERKELANJUTAN SEBAGAI PRIMER MOVER MELALUI PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUTProses panjang upaya pelestarian sumber daya pesisir dan laut di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur akhirnya membuahkan hasil. Pada tanggal 21 Oktober 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia menetapkan tiga Kawasan Konservasi Daerah KKD di Provinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya di wilayah Kabupaten Flores Timur ha, Lembata ha, dan Sikka ha melalui KEPMEN KP No 94, 95, dan 96 Tahun 2021. Jumlah tersebut menambah luasan total 5 kawasan konservasi yang telah ditetapkan di NTT menjadi 4,201, ha, dengan dua kawasan lainnya adalah Taman Nasional Perairan TNP Laut Sawu 3,5 juta ha, serta Suaka Alam Perairan Selat Pantar dan Laut Sekitarnya ha. Untuk TNP Laut Sawu merupakan Kawasan Konservasi Perairan Nasional yang dikelola oleh Balai Kawasan Konservasi Perairan BKKPN Kupang. Angka ini menunjukan Provinsi NTT telah menyumbang sekitar 17% dari 24,11 juta ha target kawasan konservasi yang ditetapkan oleh KKP di tahun Flores Timur, Lembata dan Sikka merupakan wilayah kepulauan yang saling terhubung dan merupakan habitat penting bagi ikan hiu, pari, penyu dan dan dugong. Ketiga kawasan ini juga merupakan jalur perlintasan setasea termasuk di dalamnya adalah paus pembunuh Orcinus orca dan paus biru Balaenoptera musculus. Ekosistem perairan laut dangkat yang terdiri dari terumbu karang, lamun, dan mangrove yang masih dalam kondisi baik, serta potensi sumber daya ikan demersal maupun pelagis yang besar. Selain itu, keanekaragaman hayati yang tinggi menambah ketertarikan sebagai daya tarik wisata bahari berkelanjutan yang berpotensi meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Hal ini menjadikan KKD Flores Timur, Lembata, dan Sikka sebagai habitat penting yang perlu dikelola secara berkelanjutan agar dapat dimanfaatkan hingga masa yang akan Luar Biasa dari Kolaborasi Seluruh PihakPenetapan tiga kawasan konservasi di wilayah Provinsi NTT pada tahun 2021 ini menjadi salah satu capaian luar biasa yang merupakan hasil dari upaya advokasi dan kolaborasi antara Pemerintah Daerah Provinsi NTT, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui BPSPL Denpasar, Pemerintah Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Sikka, masyarakat, akademisi serta mitra lembaga swadaya masyarakat. Sehingga pada akhirnya Surat Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor perihal Usulan Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Sikka di Provinsi NTT dapat ditindaklanjuti dengan penetapan kawasan konservasi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia pada tanggal 21 Oktober 2021 lalu. Yayasan WWF Indonesia ikut berpartisipasi dalam proses penetapan kawasan konservasi ini sejak tahun 2009. Bersama DKPP-NTT Dewan Konservasi Perairan Provinsi, Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT Wilayah Kerja Kabupaten Sikka, Flores Timur dan Lembata, akademisi NTT dan BPSPL-Denpasar, Yayasan WWF Indonesia mengawali inisiasi pengusulan penetapan kawasan konservasi di Flores Timur, dan dilanjutkan prosesnya oleh pemerintah provinsi. Berbagai survei dan monitoring dilaksanakan selama inisiasi dan proses penetapan kawasan konservasi tersebut berjalan. Yayasan WWF Indonesia juga terlibat aktif dalam mendesain zonasi di ketiga kawasan konservasi tersebut sebagai salah satu prioritas utama untuk proses penetapan Kawasan Konservasi Perairan. Selama menuju proses penetapan, WWF juga melakukan pendampingan masyarakat terutama di Kabupaten Flores Timur untuk perlindungan dan pemanfaatan habitat dan populasi hiu karang melalui aktifitas pariwisata bahari yang berkelanjutan oleh masyarakat di Desa Musthofa, selaku Kepala Program Kelautan dan Perikanan Yayasan WWF-Indonesia turut mengapresiasi, “Yayasan WWF Indonesia berkomitmen untuk menjadi mitra strategis Pemerintah Provinsi dan mitra lainnya di NTT dalam pembangunan sumber daya pesisir dan laut melalui pengelolaan kawasan konservasi. Hal ini dapat tercapai melalui pengelolaan kolaboratif dan adaptif dengan mempertimbangkan indikator keberhasilan pengelolaan efektif kawasan yang tertuang dalam perangkat Evaluasi Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi EVIKA, yaitu; indikator biofisik ekosistem laut, indikator tata kelola kawasan, serta indikator sosial ekonomi dan budaya.”Penetapan ketiga kawasan konservasi ini bukanlah tujuan akhir, masih banyak hal yang harus dilakukan agar pengelolaan kawasan konservasi dapat berjalan dengan optimal. Melalui surat Nomor 3180/DJPRL/XI/2021, Plt. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dr. Ir. Pamuji Lestari, memberikan arahan untuk menindaklanjuti penetapan ketiga kawasan di Provinsi Nusa Tenggara Timur tersebut. Beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain adalah penunjukan unit pengelola, penyusunan dan penetapan Dokumen Rencana Pengelolaan Zonasi, melakukan sosialisasi terkait kawasan dan zonasinya, serta melaksanakan pengelolaan yang efektif. Hal ini membutuhkan partisipasi dari seluruh stakeholder setempat untuk mewujudkan pengelolaan kawasan agar dapat berjalan sesuai dengan Kadis DKP Prov NTT, George M. Hadjoh, SH melalui Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut dan Perikanan Budidaya Dr. Deselina MSi menjelaskan bahwa penetapan Kawasan Konservasi Daerah ini juga menjadi bagian penting dalam pencapaian Rencana Strategis DKP NTT yakni target cakupan luas kawasan konservasi yang dikelola daerah selain KKD SAP Kabupaten Alor dan Sekitarnya. Adapun dalam pengelolaannya tidak hanya dilakukan oleh DKP Provinsi NTT, melainkan peran keterlibatan multipihak sangat diperlukan yang nantinya dilaksanakan melalui mekanisme kemitraan dan jejaring sebagaiman amanah PERMEN KP No. 31 Tahun 2020 tentang pengelolaan kawasan konservasi. “Saat ini yang perlu dilaksanakan adalah bagaimana memaksimalkan manfaat ekonomi dan ekologi sumber daya alam perairan pada tatatanan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang juga melibatkan peran pelaku usaha dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi yang efektif dan efisien” tersebut sejalan dengan penjabaran visi misi Gubernur Nusa Tenggara Timur yang tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Periode 2018-2023. Terutama pada Misi I terkait mewujudkan masyarakat sejahtera, mandiri dan adil yang bersifat inklusif dan berkelanjutan. Serta pada Misi 2 terkait membangun NTT sebagai salah satu gerbang dan pusat pengembangan pariwisata nasional Ring of Beauty sebagai Prime Mover melalui Pengelolaan Sumberdaya Laut. Kemudian, penetapan ketiga kawasan konservasi perairan diatas juga merupakan wujud implementasi Perda No 4 tahun 2017 terkait Rancana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Provinsi NTT.
HutanRaya Cibodas terletak di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Hutan raya ini ada di kaki Gunung Gede. Hamparan lumut tebal di hutan ini sangat tebal sehingga terasa empuk jika diraba Lampung bisa menjadi model kawasan konservasi berbasis lanskap di Sumatera. Ada dua taman nasional di provinsi ini yang dapat dijadikan percontohan yaitu Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] dan Taman Nasional Way Kambas [TNWK]. Lanskap adalah sebuah sistem sosial dan ekologi, terdiri ekosistem alami atau hasil modifikasi manusia yang dipengaruhi kegiatan ekologi, politik, ekonomi, historis, dan sosial budaya berbeda. Christine Wulandari, Ketua Program Studi Magister Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, menyatakan pendekatan lanskap merupakan upaya mengakomodir setiap kepentingan, mulai ekologi, budaya, dan ekonomi lokal dalam satu bentang kawasan. Lima varibel yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis landskap di Lampung yaitu platform berbagai pemangku kepentingan, pemahaman bersama, perencanaan kolaboratif, pelaksanaan efektif, serta pemantauan. Apakah Lampung bisa mewujudkan diri sebagai model kawasan konservasi berbasis lanskap di Sumatera? Pertanyaan ini yang coba dibedah Christine Wulandari, Ketua Program Studi Magister Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung [Unila], saat mengawali diskusi virtual Mongabay Indonesia bertajuk Lampung Sebagai Model Kawasan Konservasi Sumatera, Kamis [25/6/2020]. Christine bukan orang sembarangan. Dia sudah mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk meneliti hutan di Indonesia, terlebih Lampung. Ketua Yayasan Kehutanan Masyarakat Indonesia ini dengan mantap mengatakan, Lampung bisa menjadi model kawasan konservasi berbasis lanskap. Ada dua taman nasional yang menjadi alasan utama Provinsi Lampung layak menjadi percontohan. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] dan Taman Nasional Way Kambas [TNWK]. Baca Hanya Badak Sumatera di Hati Mereka Seorang mahout asik bermain bersama gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia TNBBS memiliki luas sekitar hektar dan hektar merupakan Cagar Alam Laut Bukit Barisan Selatan. TNBBS membentang dari ujung selatan Lampung [Kabupaten Tanggamus, Lampung Barat, dan Pesisir Barat] mengiringi punggung pegunungan Bukit Barisan hingga ke Provinsi Bengkulu di bagian utara [Kabupaten Kaur]. Bukit Barisan Selatan merupakan satu dari tiga taman nasional di Sumatera yang mendapat penghargaan bergengsi dari UNESCO pada 2004. TNBBS bersama Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] dan Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS] dinobatkan sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatera [TRHS] atau Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera. “TNBBS masuk lanskap hutan pegunungan Bukit Barisan yang berjejer dari Aceh hingga Lampung,” jelasnya. Sementara, Taman Nasional Way Kambas yang luasnya hektar, berada di tenggara Pulau Sumatera. Ekosistemnya berupa hutan hujan dataran rendah, rawa, hutan pantai, hingga mangrove. “Dua taman nasional ini tantangannya,” tutur anggota Pokja Percepatan Perhutanan Sosial Provinsi Lampung dan Nasional. Baca Berbagi Ruang, Kawanan Gajah Liar Tidak Lagi Resahkan Warga Pemerihan Taman Nasional Way Kambas yang merupakan habitat badak sumatera dan mamalia besar lainnya seperti gajah, harimau, beruang, dan tapir. Foto Rhett Butler/Mongabay Pengelolaan lanskap Christine menjelaskan, pengelolaan kawasan konservasi berbasis lanskap harus dimaksimalkan. Lanskap adalah sebuah sistem sosial dan ekologi, terdiri ekosistem alami atau hasil modifikasi manusia yang dipengaruhi kegiatan ekologi, politik, ekonomi, historis, dan sosial budaya berbeda. Dengan begitu, lanskap mempunyai karakter yang unik. “Dalam sebuah lanskap, kemungkinan terdapat berbagai macam pengelolaan atau penggunaan lahan. Misalnya untuk kehutanan, pertanian, peternakan, perikanan, serta konservasi keanekaragaman hayati.” Pendekatan lanskap merupakan upaya mengakomodir setiap kepentingan, mulai ekologi, budaya, dan ekonomi lokal dalam satu bentang kawasan. “Kuncinya adalah membangun konektivitas antar-kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati,” tutur dia. Tujuannya, melindungi hutan primer, pemulihan hutan dan habitat satwa yang terdegradasi, serta menyelesaikan konflik antara manusia dengan satwa liar. “Pelaksanaannya bisa melalui pendekatan kolaboratif, kemitraan dengan masyarakat, serta perpaduan pengetahuan dan kearifan lokal dengan ilmu dan teknologi moderen,” jelas dosen kehutanan yang juga Anggota Gugus Tugas Multipihak KSDAE-KLHK Bidang Pemberdayaan Masyarakat. Pengelolaan lanskap hendaknya ditetapkan oleh pemangku kepentingan. Demikian pula batas-batasnya yang merupakan kombinasi alam, lahan, wilayah adat, atau yurisdiksi dan administrasi. “Secara umum, pengelolaan lanskap mendukung pembangunan berkelanjutan yang berupaya mencari solusi agar tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan tidak bertentangan.” Christine mengatakan, ada lima varibel yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis landskap di Lampung. “Rinciannya, platform berbagai pemangku kepentingan, pemahaman bersama, perencanaan kolaboratif, pelaksanaan efektif, serta pemantauan. Ini fokusnya,” jelasnya. Selain TNBBS dan TNWK, Lampung memiliki kawasan konservasi yang telah dikenal masyarakat luas Cagar Alam Kepulauan Krakatau [13. 365 hektar] dan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman [ hektar]. Baca Ketika Konflik Gajah Tidak Lagi Merugikan Warga Braja Harjosari Badak sumatera yang berada di SRS Way Kambas, Lampung. Foto Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia Lestarikan satwa kunci Kepala SKW III Lampung BKSDA Bengkulu-Lampung, Hifzon Zawahiri, menyetujui pengelolaan lanskap sebagai solusi menjaga keanekaragaman hayati dan satwa kunci di hutan konservasi Lampung. Kepada Mongabay Indonesia, Hifzon menjelaskan, hutan tersebut merupakan habitatnya badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis], harimau sumatera [Panther tigris sumatrae], gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus], beruang madu Helarctos malayanus, burung rangkong gading [Rhinoplax vigil], dan juga bunga Rafflesia arnoldii. “Satwa kunci itu memiliki wilayah jelajah, kalau tidak dikelola dengan pendekatan lanskap tentunya habitat mereka berubah dan hidupnya terancam,” terangnya, Sabtu [27/6/2020]. Hifzon menjelaskan, pihak SKW III BKSDA Bengkulu-Lampung terus mendorong pengelolaan landskap guna menjaga nilai ekologi yang bergandengan dengan ekonomi dan sosial masyarakat sekitar penyangga hutan konservasi. “Hidup berdampingan itu indah. Satwa tetap di koridornya tanpa gangguan dan manusia dapat memanfaatkan hutan sebagai sumber ekonomi berkelanjutan.” Baca Lampung Barat Sebagai Kabupaten Konservasi, Apa Tantangannya? Rhino Protection Unit di TNBBS tengah berpatroli di sekitar taman nasional, guna mencegah terjadinya perburuan satwa liar dan perambahan hutan. Foto Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia Komitmen menjaga hutan Berdasarkan SK. Menhutbun No. 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000, luas hutan negara di Lampung sekitar hektar. Rinciannya, hutan konservasi [ hektar], hutan lindung [ hektar], dan hutan produksi [ hektar]. Sejauh ini, luas kawasan hutan yang rusak di Provinsi Sai Bumi Ruwa Jurai’ diperkirakan sekitar 37,42% atau hektar. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kehutanan Lampung, Wiyogo Supriyanto, menyadari ancaman tersebut. “Kondisinya terjadi di hutan konservasi, hutan lindung, dan lainya. Utamanya adalah pembalakan liar [illegal logging],” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Rabu [08/7/2020]. Dia menceritakan, betapa susahnya menjaga hutan itu dari tangan-tangan tak bertanggung jawab. Medio Januari-Juni 2020, pihaknya mendata 15 kasus tindak pidana. Kejadian terbaru, Ahad [14/6/2020], Dinas Kehutanan Lampung mengamankan delapan orang terkait penebangan liar di kawasan Register 17 dan 35 di Kecamatan Katibung, Lampung Selatan. Barang bukti berupa lima kubik kayu jati. Tiga hari sebelumnya, Kamis [11/6/2020], tim mengamankan sebuah Mobil Truck Colt Diesel memuat 120 batang kayu sonokeling. Diduga, hasil rambahan di hutan KPH Tahura Wan Abdul Rachman. “Sedangkan 2019, tercatat ada 37 kasus,” kata alumni Institut Pertanian Bogor [IPB]. Pembalakan liar, menyebar dari KPH Liwa, KPH Pematang Neba, KPH Way Waya, Taman Hutan Raya [Tahura] Wan Abdul Rachman, KPH Betutegi, KPH Sungai Buaya, KPH Rajabasa, hingga KPH Kota Agung Utara. Masalahnya, kata Wiyogo, sampai kini penangkapan hanya ditataran sopir, tukang tebang dan pengangkut. Sementara pemodal dan cukong sering tak tersentuh. “Kami kesulitan membongkar mafia ini, seperti ada yang melindungi.” Baca juga Kisah Klasik Tahura Wan Abdul Rachman, Dari Konflik Menuju Konsep Ekowisata Kopi yang menjadi andalan masyarakat Lampung. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia Salah satu pemodal sekaligus penadah kayu yang tengah diproses hukum bernama Cecep. Dia jaringan Lampung-Jawa yang fokus menampung sonokeling. Kayu ini masuk kategori kayu keras, bagian tengah cokelat kehitaman, terkadang memiliki corak loreng cokelat tua. Sering digunakan sebagai bahan dasar furnitur, bahkan kualitasnya menyaingi jati, karena awet dan mampu menangkal jamur. “Permintaannya banyak dan jaringan mereka luas. Kami terus berupaya memberantas pembalakan liar meski dengan personil terbatas.” Wiyogo menjelaskan, upaya yang terus dilakukan pihaknya adalah patroli rutin di hutan, penyuluhan ke masyarakat, serta mendirikan Unit Pelaksana Teknis Dinas [UPTD] Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] di hutan konservasi dan hutan lindung. “Ada 15 pos KPH dan satu pos di tahura. Hutan konservasi Lampung yang luas, memang harus dikelola secara baik dan berkelanjutan. Ini tanggung jawab kita pada generasi mendatang,” tegasnya. Artikel yang diterbitkan oleh
Adasatu tempat di Gunung Tanggamus yang menjadi favorit para pendaki. Tempat itu dinamai basecamp sonokeling. Basacamp ini berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Basecamp ini berada di kawasan hutan sonokeling, pepohonan yang ditanam Dinas Kehutanan Provinsi Lampung 45 tahun lalu. Di sini para pendaki biasa menggelar perkemahan.